Rabu, 19 Mei 2010

PERANAN OKSIGEN DALAM PROSES PEMBAKARAN

1. PENDAHULUAN


1.1 Latar Belakang

Kekhawatiran dunia terhadap pelestarian hutan tidak hanya terjadi akibat eksploitasi dan perambahan hutan, namun terutama akibat kebakaran hutan. Kerusakan hutan karena kebakaran di kawasan tropis bahkan tidak jarang dipakai sebagai legitimasi kerusakan hutan sebelumnya yang terjadi oleh eksploitasi dan perambahan. Karena itu, kebakaran hutan yang merupakan faktor pemacu (trigerring factor) utama kemunduran kuantitas dan kualitas hutan perlu diantisipasi dan dicegah sedini mungkin.
Salah satu aspek yang berperan dalam proses kebakaran adalah oksigen. Oksigen memiliki peranana yang sangat besar dalam proses ini. Tanpa adanya oksigen proses pembakaran tidak akan terjadi. Melalui praktikum kali ini, dapat diketahui seberapa penting ataupun seberapa besar peranan oksigen tersebut dalam proses pembakaran, khususnya terkait dengan kebakaran hutan yang sering terjadi.


1.2 Tujuan

Praktikum ini bertujuan untuk mengetahui sejauh mana peranan oksigen dalam proses pembakaran


2. TINJAUAN PUSTAKA

Kebakaran hutan adalah suatu proses pembakaran yang menyebar secara bebas, menkonsumsi bahan bakar alami hutan seperti serasah, rumput, , humus, ranting-ranting kayu mati, tiang, gulma, semak, dedaunan serta pohon-pohon (Brown and Davis, 1973).
Ada tiga komponen penting untuk terjadinya kebakaran. Pertama, tersedianya bahan bakar yang mudah terbakar. Kedua, panas yang dapat meningkatkan temperatur bahan bakar sehingga mencapai titik nyala, dan ketiga suplai oksigen yang cukup untuk menjaga kelangsungan proses pembakaran. Ketiga komponen di atas membentuk segitiga api. Setiap komponen tersebut harus tersedia dalam waktu yang bersamaan, jika tidak maka tidak ada api (DeBano et al., 1998).
Dalam proses pembakaran, pada fase flaming, gas-gas yang mudah terbakar dan uap-uap yang dihasilkan naik kepermukaan bahan bakar bercampur dengan oksigen dan terbakar. Oksigen yang menentukan proses pembakaran tersebut.
Tiga tahap proses pembakaran pada pohon menurut Chandler et al.(1983) adalah :
a. Penyerapan dimana bahan bakar menyerap panas sampai titik bakar.
b. Peningkatan suhu disertai penguapan air dan hancurnya molekul jaringan pohon dan melepaskaan kandungannya yang mudah menguap.
c. Pelepasan panas dimana bahan bakar terbakar melepaskan panas dan uap air dari pembakaran.


3. BAHAN DAN METODE

3.1 Bahan dan alat

1. Gelas ukuran 200ml, 300ml, 500ml, dan 1000ml
2. Lilin
3. Korek api
4. Penggaris
5. Stopwatch

3.2 Metode

1. Sediakan alat dan bahan
2. Ukur panjang sumbu lilin yang akan digunakan
3. Nyalakan lilin dengan korek api, diamkan hingga nyala api pada lilin stabil
4. Tutup lilin dengan gelas ukuran 200ml hingga nyala api lilin padam
5. Catat waktu dari mulai lilin ditutup dengan gelas hingga nyala api pada lilin didalam gelas tersebut padam
6. Untuk mendapatkan hasil yang akurat lakukan dengan tiga kali pengulangan
7. Lakukan langkah 4,5,6 dengan menggunakan gelas dengan ukuran 300ml, 500ml, dan 1000ml

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil

Tabel 1. Hasil pengamatan lamanya penyalaan api
Ukuran gelas Lama Penyalaan ( detik ) Rata - Rata (detik)
1 2 3
200 mL 5,8 7,14 6,56 6,5
300 mL 8,45 8,78 9,38 8,87
500 mL 14,09 14,05 14,98 14,373
1000 mL 19,90 22,76 19,60 20,753




4.2 Pembahasan

Pembakaran adalah reaksi kimia yang cepat antara oksigen dan bahan yang dapat terbakar, disertai timbulnya cahaya dan menghasilkan kalor .Pembakaran spontan adalah pembakaran dimana bahan mengalami oksidasi perlahanlahan sehingga kalor yang dihasilkan tidak dilepaskan, akan tetapi dipakai untuk menaikkan suhu bahan secara pelan-pelan sampai mencapai suhu nyala (Soeratmo, 2003). Oksigen sangat berpengaruh pada proses pembakaran. Berdasarkan hasil percobaan kali ini dapat di ketahui pengaaruh oksigen tersebut dalam proses pembakaran.
Pada gelas yang berukuran lebih kecil, nyala api yang dapat bertahan ketika lilin ditutup memiliki lama penyalaan yang lebih sedikit di bandingkan dengan ukuran gelas yang lebih besar. Secara garis besar dapat di tulis bahwa nyala api pada gelas 200 ml 300 ml 500 ml1000 ml.
Perbedaan nyala api tersebut disebabkan banyaknya oksigen dalam gelas yang mempengaruhi dari tiap nyala api. Semakin besar ukuran gelas, maka semakin banyak oksigen yang terdapat di dalam gelas tersebut, sehingga nyala api pun dapat di pertahankan lebih lama. Selain itu, ukuran sumbu lilin juga mempengaruhi nyala api, semakin panjang sumbu lilin maka semakin besar nyala api yang mengakibatkan waktu penyalaan semakin singkat.
Tetapi, pada praktikum kali ini, factor panjang sumbu tidak mempengaruhi waktu penyalaan, karena panjang sumbu sebelumnya telah diukur sedemikian rupa sehingga ukuran sumbu lilin sama panjang.

5. KESIMPULAN

Oksigen berpengaruh besar dalam proses pembakaran. Semakin banyak jumlah oksigen dalam proses pembakaran, maka semakin lama pembakaran tersebut. Dengan banyaknya oksigen dalam proses pembakaran, pembakaran dapat berjalan lebih lama. Begitu pula sebaliknya semakin sedikit oksigen maka pembakaran berjalan lebih sebentar.

6. DAFTAR PUSTAKA

Brown and Davis. 1973. Forest Fire Control and Use. New York : Mc. Graw Hill Book Company Inc.
Chandler et al. 1983. Fire in Forestry. Volume 1. Forest Fire Behaviour and Effects. Canada and USA: Jhon Willey and Sons, Inc.
De Bano, L. F, D. G. Neary and P. F. Folliot. 1998. Fire’s Effect and Ecosystems. New York : Jhon Willey and Sons, Inc.
Suratmo, F. G. A. Husaeni dan N. S. Jaya. 2003. Pengetahuan Dasar Pengendalian Kebakaran Hutan. Bogor : Fakultas Kehutanan IPB
http://sanoesi.wordpress.com/2008/09/20/oksigen-dan-nyala-api/

LAPORAN TERSTRUKTUR MATA KULIAH ANATOMI DAN IDENTIFIKASI KAYU

BALAU

NAMA BOTANIS
Balau dengan nama ilmiah antara lain Shorea spp. dan Hopea spp., famili Dipterocarpaceae (terutama S. atrinervosa Sym., S. elliptica Burck, S.falcifera Dyer ex Brandis, S.glaucaKing, S. laevis Ridl., S. maxwelliana King, S. seminis V.Sl., H. gregaria V.Sl.).

NAMA DAERAH
Nama daerah yang digunakan untuk menamai berbeda-beda pada tiap daerah. Damar laut, kedawang, semantok, singkawang merupakan nama lain kayu pohon maupun kayu balau di daerah Sumatera. Anggelam, balau, bangkirai tanduk, kayu batu, pelepek, tekam merupakan nama lain dari kayu balau di Kalimantan, dan Dama dere, Hulo dere, Pooti untuk nama lain kayu balau di Sulawesi.

NAMA DI NEGARA LAIN
Di Negara lain, kayu balau memiliki nama-nama yang berbeda pula. Yakal, malayakal (Philipina), Balau (Malaysia, United Kingdom, USA, France, Spanyol, Italia, Swedia); Selangan batu (Sabah, Serawak); Ak, chan, teng, pa-yom (Thailand); Sen, ca-chac (Vietnam); Phchek(Cam); Thitya (Birma).

DAERAH PENYEBARAN
Pulau Sumatera, meliputi Aceh, Sumatra Utara, Sumatra Barat, Riau, Sumatra Selatan (Palembang), Jambi, Lampung. Pulau Kalimantan, meliputi Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur. Pulau Sulawesi, meliputi Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara.

HABITUS
Pohon balau dengan tinggi 20-50 m, panjang batang bebas cabang 10-35m, diameter sampai 160 cm, banir dapat mencapai tinggi 3,5m.

CIRI UMUM

Warna
Kayu teras berwarna coklat muda atau kuning-coklat muda yang lambat laun menjadi coklat tua. Kayu gubal berwarna lebih muda dari kayu teras, tebal 2-12cm, biasanya 4cm. Batas tegas antara kayu gubal dan kayu teras.


Tekstur
Tekstur kayu balau cukup halus sampai kasar, umumnya agak kasar atau kasar.

Arah Serat
Arah serat lurus atau terpilindan berpadu.

Kesan Raba
Permukaan kayu umumnya licin. Pada bidang radial kayu yang mempunyai arah serat berpadu nampak bagian yang licin dan bagian yang kesat

Kilap
Permukaan kayu sedikit mengkilap sampai mengilap.

Gambar
Pada bidang radial kayu yang mempunyai arah serat berpadu nampak gambar berupa garis-garis.

STRUKTUR
Pori
Pori sebagian besar soliter, sebagian bergabung 2-4 dalam arah radial, kadang-kadang dalam gabungan tangensial atau miring, berbentuk bundar atau lonjong, diameter 100-300µ, frekuensi 2-10 per mm², kadang-kadang sampai 14 pori per mm², banyak terisi tilosis, bidang perforasi berbentuk sederhana.

Parenkim
Peremkim termasuk paratrakeal berbentuk selubung lengkap atau tidak lengkap yang sering kali bergabung dengan parenkim yang tersebar atau parenkim apotrakeal yang berbentuk pita tangensial pendek.

Jari-jari
Jari-jari homogen, sempit dan pendek, frekuensi 6-8 per mm, kadang-kadang berisi endapan berwarna coklat.

Saluran Interseluler
Saluran interseluler selalu lebih kecil daripada pori, hanya terdapat dalam arah aksial merupakan deretan arah tangensial panjang atau kadang-kadang pendek, biasanya berisi endapan berwarna putih.

Serat
Dimensi serat S. maxwelliana adalah panjang 1.327µ, diameter 16,1µ, tebal dinding 3,3µ, dan diameter lumen 9,4µ.

SIFAT FISIS
Berat jenis dan kelas kuat
S. atrinervosa 0,98 (0,78-1-11); I
S. elliptica 0,95 (0,82-1,11); I
S. falcivera 1,04 (0,90-1,13); I
S. glauca 1,00 (0,85-1,14); I-II
S. laevis 0,99 (0,86-1,09); I
S. maxwelliana 1.01 (0,88-1,15); I
S seminis 0.90 (0,72-1,04); I-II
S. sumatrana 0,88 (0,65-1,08); II-I
H. dolosa 1,13 (1,04-1,18); I
H. gregaria 1,05 (0,99-1,11); I

Kelas awet dan Keterawetan
Kayu balau termasuk dalam kayu dengan kelas awet I dan Sukar diawetkan

Penyusutan
Penyusutan sampai kering udara pada S. laevis 1,5% (Radial) dan 3,1% (Tangensial); S. maxwelliana 1,7% (Radial) dan 3,5% (Tangensial).

SIFAT MEKANIS
Keteguhan Lentur Statik

S. elliptica S. laevi S. maxwelliana
Tegangan pada batas proporsi(kg/cm²) b 911 783 -
k 1181 - -
Tegangan pada batas patah(kg.cm²) b 1313 1237 1271
k 1545 - -
Modulus Elastisitas(1000kg/cm²) b 207 188 226
k 199 - -
Usaha sampai batas proporsi(kgm/dm³) b 2,2 3,6 -
k 3,9 - -
Usaha sampai batas patah(kgm/dm³) b 11,1 21,3 20,3
k 14,4 - -

Keteguhan Pukul

Radial(kgm/dm³) b 46,0 - -
k 43,7 - -
Tangensial(kgm/dm³) b 49,1 - -
k 47,5 - -


Keteguhan Tekan Sejajar Arah Serat, Tegangan Maksimum(kg/cm²)

b 690 701 720
k 730 - -

Kekerasan

Ujung(kg/cm²) b 736 984 880
k 848 - -
Sisi(kg/cm²) b - 948 973
k 713 - -
Keteguhan Geser

Radial(kg/cm³) b 93,2 125,8 -
k 90,2 - -
Tangensial(kg/cm²) b 55,2 137 117,8
k 96,7 - -
Keteguhan Belah

Radial(kg/cm) b 73,4 66,0 89,3
k 75,5 - -
Tangensial(kg/cm) b 76,7 75,0 135,7
k 83,9 - -

Keteguhan Tarik Tegak Lurus Arah Serat
Radial(kg/cm²) b 58,7 - -
k 75,0 - -
Tangensial(kg/cm²) b 59,8 - -
k 79,4 - -


SIFAT KIMIA
Kadar
Selulosa 58,3%
Lignin -
Pentosa 16,8%
Abu 0,4%
Silika 0,1%

Kelarutan
Alkohol-benzena 3,0%
Air dingin 0,6%
Air panas 3.4%
NaOH 1% 8,9%

Nilai Kalor $,608g/cal


KEAWETAN DAN KETERAWETAN
Keawetan

Kelas awet:
S. atrivervosa I
S. elliptica I
S. falcifera I
S. glauca I
S. laevis I
S. mqxwelliana I
S. seminis I-II
S. sumatrana II-I
H. dolosa I
H. gregaria I

Daya tahan kayu Shorea sp. terhadap kayu kering Cryptotermes cynocephalus Light termasuk kelas I.

Keterawetan
Kayu sukar diawetkan.

PENGERINGAN
Pengeringan Alami
Papan S. maxwelliana tebal 4cm mengering dari keadaan basah sampai kadar air 16% dalam waktu 8 bulan.

Pengeringan dalam Dapur Pengering
Belum ada data.

VINIR DAN KAYU LAPIS
Kayu balau tidak sesuai untuk vinir dan kayu lapis karena mempunyai kekerasan dan berat jenis yang tinggi.

PENGERJAAN
Sifat pengerjaan kayu balau berbeda-beda menurut jenisnya, terutama bila dipacak, digergaji, dibelah, dan diserut. Kayu balau umumnya tidak sukar digergaji atau diserut meskipun berat jenisnya tinggi, serta mudah dibor dan dibubut.
Kayu S. laevis dan S. maxwelliana sukar dipaku karena mudah pecah, kecuali bila dibor terlebih dahulu.

KEGUNAAN
Karena kekuatan dan keawetannya tinggi, kayu balau dipergunakan untuk konstruksi berat, terutama jika berhubungan dengan keadaan yang lembab dan berhubungan dengan tanah. Jenis kayu ini antara lain dipergunakan untuk jembatan, bantalan, tiang listrik, lantai, bangunan maritim, perkapalan(antara lain untuk kemudi, pendayung, tiang layar, lunas, dan gading-gading), perumahan, karoseri, batang cikar, sumbu gilingan, bahkan dipergunakan juga untuk membuat tong atau jenis wadah lainnya.

SILVIKULTUR
Tempat Tumbuh
Jenis ini tumbuh pada tanah liat, tanah berpasir atau berbatu, baik tanah kering maupun berawang. Pohon balau tumbuh pada ketinggian 0-600m dari permukaan laut dalam hutan hujan tropis dengan tipe curah hujan A sampai B (diatas 3000mm/tahun).

Permudaan
Permudaan alam dapat dilakukan baik pada sistem tebang habis. Permudaan buatan dilakukan dengan bibit dari persemaian yang tingginya 20-25cm dengan jarak tanam 3x3m di bawah naungan.

Buah
Belum ada data.

Hama dan Penyakit
Belum ada data.







Gambar 1. a. Log Balau



b. kayu balau setelah penggergajian


Gambar 2. Pohon Balau


Gambar 3. Kayu Teras Gambar 4. Kayu balau



Gambar 5. Penampang Tangensial balau


Gambar 6. Penampang cross section Balau perrbesaran 10x



Gambar 7. Penampang Cross Section Balau perbesaran 30X



Daftar Pustaka

Martawijaya, Abdurahim dkk. 1989. Atlas Kayu Indonesia Jilid II. Bogor: Departemen Kehutanan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan
Ananim. 2009. Balau. http://arkive.org
Anonim. 2009. Balau. http://indonetwork.ao.id
Anonim. 2009. Balau. http://jstrading.blogspot.com
Anonim.2009. Balau. http://ppinternational.com.au

Tugas Kuliah

LAPORAN AKHIR PRAKTIKUM
PEREKATAN KAYU
Aplikasi Perekat Dalam Pembuatan Kayu Laminasi


Disusun oleh:
Esi Fajriani E24070065



Dosen :
Prof. Dr. Ir. Surdiding Ruhendi, M. Sc.
Tito Sucipto, S.Hut.












DEPARTEMEN HASIL HUTAN
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2010
DAFTAR ISI

DAFTAR HALAMAN
Daftar Isi………………………………………………………….………………..i
Daftar Tabel………………………………………………………………..........ii
Daftar Gambar……………………………………………………………………iii
I. PENDAHULUAN………………………………………………..……….…...1
1.1 Latar Belakang……………………………………………….….….1
1.2 Tujuan………………………………………………………..……...2
II. TINJAUAN PUSTAKA…………………………………………...………….3
2.1 Perekatan Kayu…………………………………………………….3
2.2 Kayu Laminasi……..………………………………………...……..4
2.3 Perekat Kayu Komposit…………………………………………...5
III. METODOLOGI……….……………………………………………………..9
3.1 Waktu dan Tempat………………………………………………..9
3.2 Alat dan Bahan…………………………………………………….9
3.3 Metode Penelitian…………………………………………………9
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN……….……………………………………..11
4.1 Hasil.................................................................................13
4.2 Pembahasan.....................................................................20
V. PENUTUP....................................................................................23
5.1 Kesimpulan.......................................................................23
5.2 Saran................................................................................23
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................24





DAFTAR TABEL

No. Halaman
1. Aplikasi Perekat dalam Pembuatan Kayu Laminasi…….………..13
2. Keteguhan Rekat Kayu Laminasi ……………………………….….16



DAFTAR GAMBAR

No. Halaman
1. Sirekat…………………….………….………………………….……9
2. Contoh Uji……………………..…………………………………….11
3. Skema Proses Penelitian………………………………………….12


I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumberdaya alam khususnya kayu yang sangat potensial digunakan oleh masyarakat untuk pemenuhan kebutuhannya. Kayu sendiri memiliki beberapa keuntungan dibandingkan vahan lain bila dipakai sebagai bahan bangunan. Penggunaan kayu untuk pemenuhan kebutuhan masyarakat Indonesia dapat ditutupi dengan pengambilan kayu dari hutan alam maupun hutan tanaman industri yang dimiliki Indonesia. Tetapi penggunaan vahan baku kayu tersebut harus digunakan dengan bijaksana dan efisien agar keseimbangan bahan baku dihutan terus terjaga.
Pada umumnya, kayu yang digunakan pada untuk pemenuhan kebutuhan manusia dalam bentuk sederhana merupakan kayu solid dalam bentuk kayu gergajian maupun gelondongan. Sedangkan pada bangunan modern, kayu yang dipakai bukan hanya kayu solid saja melainkan lebih banyak digunakan kayu komposit dalam bentuk panil atau balok laminasi (Mardikanto et al,. 2009).
Komposit kayu adalah bahan baku kayu yanag digabungkan satu sama lain menggunakan perekat ( Mardikanto et al,. 2009). Produk komposit dapat dibuat dalam berbagai ukuran dan bentuk, serta dapat dibuat dalam berbagai kombinasi bahan baku. Dengan penggunaan kayu komposit ini, penggunaan kayu dapat dilakukan secara efisien dan bahan baku dengan berbagai ukuran (baik keci maupun besar) dapat dimanfaatkan dengan bijaksana. Dengan penggunaan perekat, dapat diciptakan balok laminasi yang biasanya berukuran besar dari pohon-pohon berdiameter kecil ataupun pohon-pohon hasil kegiatan penjarangan.
Beberapa produk komposit kayu yang dapat diciptakan antara lain adalah Laminated veneer lumber (LVL), plywood (kayu lapis), parallel veneer lumber, laminated beams (balok laminasi), fiberboard (papan serat), oriented standartboard (OSB), wood fiber-plastic composites, dan lain-lain. Beragamnya produk komposit yang dihasilkan tidak lepas dari peranan perekat.
Perekat yang berkualitas dan bermutu baik akan memperpanjang pula umur pemakaian atau penggunaan dari produk komposit yang dihasilkan. Peranan perekat sangat penting dalam penciptaan produk komposit. Untuk itu diperlukan pengujian terhadap perekat-perekat yang sering digunakan untuk pembuatan produk komposit agar diperoleh informasi penting terkait hal-hal tersebut.

1.2 Tujuan
Praktikum ini bertujuan untuk :
1. Mempelajari pengaruh berat labur perekat terhadap nilai keteguhan rekatnya.
2. Mempelajari pengaruh proses pelaburan perekat pada sirekat (single spread/double spread) terhadap keteguhan rekatnya.
3. Menpelajari keteguhan rekat masing-masing perekat yang digunakan, dengan pengujian basah dan kering.
























II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Perekatan Kayu
Istilah-istilah yang dikenal dalam perkatan kayu antara lain perekat, sirekat, perekatan, dan rekatan. Perekat (adhesive) adalah suatu zat atau bahan yang memiliki kemampuan untuk mengikat dua benda melalui ikatan permukaan (Blomquist et al., 1983). Sirekat (adherends) merupakan bahan yang digabungkan (sejenis atau tidak sejenis) oleh perekat. Perekatan (gluing/bonding) merupakan proses penggabungan sirekat dengan menggunakan perekat. Sedangkan rekatan (bond/joint) adalah produk hasil penggabungan sirekat dengan menggunakan perekat.
Beberapa istilah lain dari perekat yang memiliki kekhususan meliputi glue yang merupakan perekat yang terbuat dari protein hewan; mucilage yang merupakan perekat dari getah dan air; paste (perekat pati) yang dibuat melalui pemanasan campuran pati dan air, dan cement merupakan perekat berbahan dasar karet yang mengeras melalui pelepasan pelarut (Blomquist et al., 1983).
Forest Product Society (1999) dalam Ruhendi et al., (2007) menyatakan bahwa perekat kayu merupakan campuran dari beberapa komponen yang secara kimia aktif bersifat innert dan bervariasi dalam proporsi terhadap perekat dasar. Perekat campuran terbentuk dari dua komponen, yaitu komponen utama dan komponen tambahan.
Komponen utama (base/binder) adalah bahan yang mempunyai kemampuan merekat dan merupakan komponen utama dalam perekat dari alam atau dari bahan resin phenol sintesis. Sedangkan untuk komponen tambahan, umumnya di tambahkan dalam komponen perekat utama, seperti :
• Solvent (pelarut) adalah cairan yang dibutuhkan untuk melarutkan atau mendispersi base dan bahan aditif lainnya sehingga diperoleh sistem cairan perekat yang siap untuk diaplikasikan.
• Thinner/diluents (pengencer) merupakan cairan yang digunakan bersama-sama solvent untuk menurunkan kekentalan perekat yang sesuai dengan aplikasi.
• Catalyst (katalisator) yang akan menciptakan tingkat keasaman dan kebasaan larutan. Di tambahnkan dalam jumlah kecil untuk meningkatkan laju reaksi kimia dalam prooses pematangan dan pengerasan.
• Hardeners/curing agents disebut juga pengeras yaitu mengubah sistem liquida menjadi solid
• Fillers/bahan pengisi, bahan ini tidak mempunyai sifat rekat, ditambahkan untuk meningkatkan kekentalan, untuk mengurangi masuknya perekat kedalam kayu
• Extender untuk merekat tetapi bukan base yang berfungsi untuk mengurangi biaya perekat
• Preservatif/pengawet merupakan bahan kimia yang ditambahkan ke larutan perekat untuk melindungi satu atau lebih komponen perekat dari deteriorasi biologis
• Fortifier yaitu perekat non-base tetapi memiliki sifat lebih unggul dibandingkan dengan base
• Carriers merupakan bahan yang digunakan untuk menghasilkan perekat yang berbentuk film (perekat yang lapisannya sangat tipis)

2.2 Kayu Laminasi
Kayu laminasi (glued laminated wood) adalah suatu batang yang dibuat dari beberapa lapisan kayu dengan lebar tertentu, biasanya antara 2,5-5,0 cm direkat dengan lain sehingga semua lapisan arah seratnya sama dengan sumbu memanjang (Hansen, 1948)
Melalui Konstruksi kayu Indonesia tahun 1961 balok laminasi disebut “Konstruksi berlapis majemuk”, yaitu konstruksi yang menggunakan papan tipis yang diletakkan satu dengan yang lain sehingga menjadi balok uang berukuran besar. Tetapi tebal tipisnya suatu papan disarankan 25-50mm. Disamping itu, balok laminasi memilki cara penempatan berdasarkan bebannya, yaitu: balok laminasi horizontal dan vertical. Sedangkan bentuk kayu yang berdasarkan bentuk penampang melintang dibedakan menjadi balok T, balok I, balok papan dan balok persegi panjang (Bodig dan Jayne, 1982).
Balok laminasi memilki sifat fisis dan mekanis yang dapat diketahui, yaitu: BJ (berat jenis) dari kayu, kadar air tidak boleh lebih dari 18% dan antara papan kadar airnya paling besar 3%, proses pengembangan atau penyusutan balok laminasi, sifat kekakuan, dan keteguhan lentur elastic statis (MOR).



2.3 Perekat Kayu Komposit
Beberapa perekat yang dapat di aplikasikan pada kayu komposit, antara lain :
1. Starches (pati)
Perekat pati merupakan perekat nabati yang terpenting, dimana dapat dibuat dengan cara yang paling sederhana yaitu mendidihkan tepung pati dengan air ( Ruhendi et al,. 2007). Dapat pula dengan produk degradasinya. Degradasi pati tersebut dapat dilakukan dengan ezim, asam, pengoksida dan panas.
Pati yang banyak beredar secara komersial berasal dari tanaman-tanaman singkong, jagung, sagu, kentang, ubi jalar dan gandum. Pada umumnya, pati diperoleh dari biji-bijian, akar umbi-umbian dan batang pohon.
Sifat pati dipengaruhi oleh bahan baku pembentukannya. Kelebihan dari perekat pati ini antara lain murah, pot life-nya panjang (tidak mudah terdekomposisi), dapat menggunakan kempa dingin dengan tekanan kempa relative rendah. Selain itu, kekurangan perekat pati antara lain terlalu kental sehingga sukar dalam pelaburannya.
2. Polyvinyl acetate (PVAc)
Menurut Ruhendi dan Hadi (1997), polyvinyl asetat diperoleh dari polimerisasi vinyl asetat dengan cara polimerisasi massa, polimerisasi larutan, maupun polimerisasi emulsi. Yang paling banyak digunakan dalam proses produksi adalah polimerisasi emulsi. Reaksinya dimulai dan dikontrol dengan penggunaan radikal bebas atau katalis ionik, sedangkan untuk tujuan percobaan dapat dilakukan dengan metoda katalis, termasuk katalis redox atau aktivasi dengan cahaya. Secara garis besar reaksinya ada tiga tahap yaitu pemulaan, pertumbuhan polimer dan terminasi.
Tingkat polimerisasi ini akan sangat berpengaruh terhadap sifat PVAc-nya, dimana berat molekul yang tinggi akan memberikan kekentalan yang lebih tinggi juga. Untuk perekat kayu biasanya digunakan PVAc dengan berat molekul sekitar 100.000 yang akan larut dalam toluena dan pelarut organik lainnya.
Kelebihan polyvinyl asetat yaitu mudah penanganannya, storage life-nya tidak terbatas, tahan terhadap mikroorganisme, tidak mengakibatkan bercak noda pada kayu, mempunyai gap-filling hampir sama dengan perekat hewani serta tekanan kempanya rendah.
Kekurangan polyvinyl asetat yaitu sangat sensitif terhadap air, sehingga penggunaanya hanya untuk interior saja, kekuatan rekatnya menurun cepat dengan adanya panas dan air serta sifat visco-elastisitasnya tidak baik, sehingga creep besar dan ketahanan terhadap fatigue rendah.
Pizzi (1983) menyatakan bahwa faktor-faktor yang harus diperhatikan dalam penggunaan perekat polyvinyl asetat meliputi komponen-komponen perekat (substrate), permukaan bahan yang direkat, viskositas, masa tunggu, kondisi pemakaian, kondisi penyimpanan dan harga.
Menurut Pizzi (1983), perekat polyvinyl asetat tidak memerlukan kempa panas. Dalam penggunaan secara luas dapat menghasilkan keteguhan rekat yang baik, dengan biaya yang relatif rendah. Keuntungan utama dari polyvinyl asetat melebihi perekat urea formaldehida, karena kemampuannya menghasilkan ikatan rekat yang cepat pada suhu kamar. Keuntungan lainnya yaitu dapat menghindari kempa panas yang memerlukan biaya tinggi. Perekat polyvinyl asetat mempunyai sifat termoplastik, yang penting untuk menjaga tekanan kempa selama pembentukan ikatan sampai ikatan rekat mempunyai kekuatan yang memadai.
Penggunaan khusus polyvinyl asetat dipakai pada pembuatan kayu lapis dan papan blok, karena perekat ini mampu meningkatkan kekuatan rekat secara ekstrim dan cepat (Pizzi, 1983).

3. Polystyrene
Polystyrene merupakan polimer tinggi yaitu molekul yang mempunyai massa molekul besar. Terdapat di alam (benda hidup, hewan/tumbuhan) atau disintesis di laboratorium. Polystirena merupakan makromolekul, yaitu molekul besar yang dibangun oleh pengulangan kesatuan kimia yang kecil dan sederhana (monomer).
Polystirena atau polyfeniletena dapat dipolimerkan dengan panas, sinar matahari atau katalis. Derajat polimerisasi polimer tergantung pada kondisi polimerisasi. Polimer yang sangat tinggi dapat dihasilkan dengan menggunakan suhu di atas sedikit suhu ruang. Polystirena merupakan thermoplastis yang bening (kecuali jika ditambahkan pewarna/pengisi) dan dapat dilunakkan pada suhu ±100 0C. Tahan terhadap asam, basa dan zat pengarat (korosif) lainnya. Tapi mudah larut dalam mempengaruhi kekuatan dan ketahanan polimer terhadap panas. Banyak digunakan untuk membuat lembaran, penutup dan barang pencetak (Cowd, 1991).

4. Urea formaldehida
Menurut Ruhendi dan Hadi (1997), urea formaldehida merupakan hasil kondensasi dari urea dan formaldehida dengan perbandingan molar 1: (1,5–2). Pada tahap awalnya terbentuk mono-, di-, tri-, dan tetra- methyloluera.
Urea formaldehida ini larut dalam air dan proses pengerasannya akan terbentuk pola ikatan jaringan (cross-link). Urea formaldehida akan cepat mengeras dengan naiknya temperatur dan/atau turunnya pH.
Apabila pH turun secara drastis maka pot life-nya sangat pendek, dan kekuatan rekat menurun dengan pengaruh waktu. Hal ini dapat diatasi dengan penggunaan garam amonium dari asam kuat, dan yang sering digunakan adalah amonium chlorida. Dengan adanya dua faktor yang sangat berperan dalam proses pengerasan urea formaldehida ini, maka perekat ini dapat dikempa panas maupun dikempa dingin, yaitu dengan cara mengatur keasaman perekatnya.
Kelebihan urea formaldehida yaitu warnanya putih sehingga tidak memberikan warna gelap pada waktu penggunaannya, dapat dicampur perekat melamin formaldehida agar kualitas perekatnya lebih baik, harganya relatif murah dibandingkan perekat sintetis lainnya serta tahan terhadap biodeteriorasi dan air dingin. Kekurangan urea formaldehida yaitu kurang tahan terhadap pengaruh asam dan basa serta penggunaanya terbatas untuk interior saja.

5. Phenol formaldehida
Phenol formaldehida merupakan hasil kondensasi formaldehida dengan monohidrik phenol, termasuk phenol itu sendiri, creosol dan xylenol. Phenol formaldehida ini dapat dibagi menjadi dua kelas yaitu resol yang bersifat thermosetting dan novolak yang bersifat thermoplastik. Perbedaan kedua ini disebabkan oleh perbandingan molar fenol dan formaldehida, serta katalis atau kondisi yang terjadi selama berlangsungnya reaksi (Ruhendi dan Hadi, 1997).
Resol ini merupakan tahap A (A stage) dalam proses kimianya, dimana bila resol ini dipanaskan maka akan terbentuk resitol (tahap B). Pada tahap ini perekat menjadi mengembang dan sifatnya seperti karet, serta proses percabangan molekul dan ikatan jaringan jalannya terus berkembang. Dengan panas yang sinambung maka sampailah pada tahap C atau resite, dimana tahap ini perekat tidak larut dan tidak dapat ditambahkan perekat tahap lainnya.
Kelebihan phenol formaldehida yaitu tahan terhadap perlakuan air, tahan terhadap kelembaban dan temperatur tinggi, tahan terhadap bakteri, jamur, rayap dan mikro-organisme serta tahan terhadap bahan kimia, seperti minyak, basa dan bahan pengawet kayu. Kelemahan phenol formaldehida yaitu memberikan warna gelap, kadar air kayu harus lebih rendah daripada perekat urea-formaldehida atau perekat lainnya serta garis perekatan yang relatif tebal dan mudah patah.


























III. METODE PENULISAN

3.1 Waktu dan Tempat
Praktikum ini dilakukan pada bulan November 2009 hingga Januari 2009 bertempat di Bagian Biokomposit, Departemen Teknologi Hasil Hutan, Institut Pertanian Bogor.

3.2 Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam praktikum ini antara lain : alat kempa, gelas kimia, pengaduk, timbangan digital, amplas, Moisture meter, water bath, kaliper dan Dilon dynometer atau Universal Testing Machine. Bahan digunakan adalah kayu meranti putih dan kayu rengas, perekat pati, urea formaldehyde, phenol formaldehyde, PVAc, dan Polystyrene.

3.3 Metode Penelitian
3.3.1 Persiapan Sirekat
Sirekat yang digunakan pada praktikum ini adalah kayu Meranti Putih dan kayu Rengas. Sirekat yang akan digunakan sebelumnya dibersihkan dan dihaluskan permukaannya dengan menggunakan amplas. Selanjutnya, sirekat yang telah dibersihkan permukaannya diukur dimensi panjang dan lebarnya. Hal ini dilakukan untuk memperoleh luas permukaan sirekat.

P Keterangan :
L P : Panjang
L : Lebar

Gambar 1. Sirekat

3.3.2 Persiapan Perekat
Pada penelitian ini perekat yang akan di aplikasikan pada sirekat antara lain adalah Perekat Urea Formaldehide (UF), Perekat Phenol Formaldehide (PF), Perekat Polyvinil Acetat (PVAc), Perekat Pati (Starch), dan Perekat Polystyrene. Masing-masing perekat yang akan diaplikasikan (dilaburkan) pada sirekat di hitung dahulu kebutuhannya untuk tiap sirekat.
Perekat yang akan diaplikasikan kepada sirekat memiliki berat labur antara lain 120 kg/m2, 130 kg/m2, 140kg/m2, 150 kg/m2, dan 160 kg/m2. Sehingga jumlah (berat perekat) yang akan digunakan untuk mengaplikasikannya kepada sirekat, terlebih dahulu dilakukan penghitungan berat perekat yang akan digunakan, yaitu :

Berat Labur = Berat perekat
10000 cm2 Luas permukaan sirekat

Luas permukaan sirekat = P x L ; Keterangan : P = Panjang sirekat
L = Lebar sirekat

3.3.3 Pelaburan
Perekat yang telah dihitung berat (bobotnya) selanjutnya diaplikasikan (dilaburkan) kepada sirekat. Pada penelitian ini, proses pelaburan perekat dilakukan dengan dua cara yaitu dengan single line spread dan double line spread. Single spread merupakan proses pelaburan perekat pada salah satu permukaan sirekat. Sedangkan double spread merupakan proses pelaburan perakat pada kedua permukaan sirekat.

3.3.4 Perekitan dan Pengkondisian
Sirekat yang telah dilaburkan dengan perekat pada tahap selanjutnya digabungkan sehingga diperoleh kayu laminasi. Selanjutnya diletakkan pada alat kempa selama ± 24 jam. Kayu laminasi yang telah dikempa tetap di jaga kondisinya, hal ini dimaksudkan agar kadar air kayu laminasi tetap terjaga, dan selanjutnya dilakukan pengukuran kadar air kayu.
Kayu lamisasi yang telah diperoleh (dari berbagai jenis perekat untuk merekatkannya) dipotong dengan ukuran panjang 3.5 cm untuk selanjutnya dilakukan uji keteguhan rekat. Dibutuhkan dua contoh uji, yaitu contoh uji untuk kondisi basah dan kering masing-masing sebanyak 10 buah ( 5 contoh uji yang dilabur dengan cara single spread dan 5 contoh uji yang dilabur dengan double spread).




2.5 ± 0.5 cm
Dipotong 0.5 ± 0.03 cm

3.5 cm
3.0 ± 0.1 cm


(a)



Garis rekat
(b)



Gambar 2. Contoh Uji.
(a) ukuran contoh uji ; (b) bentuk contoh uji

3.3.5 Uji Keteguhan Rekat
Kayu lamina diberikan dua perlakuan berbeda, yaitu uji kering dan uji basah. Pada uji kering, contoh uji yang sudah disiapkan diuji dengan alat Dylonmeter, yang berfungsi untuk menguji keteguhan rekat. Sedangkan untuk uji basah, contoh uji direndam dalam water bath selama 3 jam pada suhu ± 60°C. Selanjutnya, contoh uji tersebut diuji keteguhan rekatnya dengan Dylonmeter, sama halnya seperti uji kering.

B
Keteguhan Rekat =
p x l
Keterangan :
B = Beban tekan (Kg)
p = Panjang bidang geser (cm)
l = Lebar bidang geser (cm)

































Gambar 3. Skema proses pelaksanaan praktikum

4.2 PEMBAHASAN
Proses perekatan yang dilakukan pada praktikum ini adalah perekatan pada kayu Meranti putih dan kayu Rengas. Kayu Meranti putih merupakan sirekat untuk perekat dengan berat labur 120 g/m2 dan 140 g/m2. Sedangkan kayu Rengas merupakan sirekat untuk perekat dengan berat labur 130 g/m2, 150 g/m2 dan 160 g/m2. Jenis kayu tidak terlalu mempengaruhi proses perekatan. Menurut Marra (1992) dalam Ruhendi et al,.(2007) dalam persiapan untuk perekatan kayu, ada dua sasaran yang perlu diperhatikan, yaitu mempersiapkan elemen kayu agar dapat direkat baik ukuran maupun bentuknya dan menghasilkan permukaan yang akan direkat satu dengan lainnya hanya dengan tekanan kecil. Untuk mencapai sasaran tersebut, faktor yang harus diperhatikan adalah kehalusan, ketepatan ukuran, kadar air, sudut serat, bidang potong, dan lain-lain. Pada penelitian ini, baik kayu Kayu Meranti putih maupun Rengas telah diberi perlakuan awal yang sama berupa penghalusan permukaan/bidang yang akan direkat serta pengukuran dimensi kayu tersebut.
Pada kayu tersebut dilaburkan perekat dengan bobot tertentu yang diperoleh berdasarkan luas bidang rekat dan kebutuhan perekat per meter perseginya. Pelaburan perekat pada kayu tersebut bertujuan untuk mendistribusikan sejumlah perekat dengan ketebalan yang seragam pada bidang rekat, sehingga dengan penambahan tekanan, perekat akan mengalir membentuk lapisan tipis.
Pada praktikum ini proses pelaburan perekat dilakukan dengan single line spread dan double line spread. Dari hasil praktikum diperoleh pelaburan perekat dengan single line spread lebih kuat keteguhan rekatnya dari pada double line spread. Hal ini terlihat dari hasil uji kekuatan rekat dengan perlakuan basah dan kering, dimana lebih banyak kayu laminasi dengan perekat yang di laburkan dengan single line spread memiliki kekuatan rekat yang lebih tinggi dari pada pelaburan dengan double line spread. Tetapi, hasil ini tidak terlalu nyata terlihat karena jumlah kayu laminasi yang kekuatan rekatnya lebih tinggi dengan pelaburan single line spread terlihat hampir seimbang dengan kayu laminasi double line spread.
Dari data hasil praktikum ini juga diperoleh data mengenai keteguhan rekat masing-masing kayu laminasi pada tiap berat labur. Untuk berat labur 120 g/m2, terdapat 10 kayu laminasi dengan 5 perekat yang berbeda. Dua kayu laminasi masing-masing direkatkan dengan perekat Urea formaldehide, Phenol formaldehide, Polyvinil acetat, Starch (pati), dan Polystirene. Dua kayu laminasi yang diberikan peekat yang sama dibedakan dengan pemberian pelaburan perekat yang berbeda yaitu single line spread dan double line spread. Dari hasil praktikum diperoleh informasi nilai keteguhan rekat tertinggi pada perlakuan basah adalah kayu laminasi dengan perekat Urea formaldehide dengan pelaburan perekat single line spread, nilai keteguhan rekatnya 20.86 g/cm2, sedangkan pada perlakuan kering kayu laminasi yang memiliki keteguhan rekat tertinggi adalah kayu laminasi dengan perekat Phenol formaldehide dengan pelaburan perekat single line spread, nilai keteguhan rekatnya 70.29 g/cm2. Pada saat setelah mendapat perlakuan basah, beberapa kayu laminasi kehilangan perekatnya (lepas), antara lain kayu laminasi dengan perekat Polyvinil acetat, Pati dan Polystirene.
Untuk berat labur 130 g/m2 nilai keteguhan rekat tertinggi pada perlakuan basah adalah kayu laminasi dengan perekat Polystirene (double line spread) dengan nilai keteguhan rekat 23.43 g/cm2, sedangkan pada perlakuan kering kayu laminasi yang memiliki keteguhan rekat tertinggi adalah kayu laminasi dengan perekat Urea formaldehide (single line spread) dengan nilai keteguhan rekat 26 g/cm2 . Pada saat setelah mendapat perlakuan basah, beberapa kayu laminasi kehilangan perekatnya (lepas), antara lain kayu laminasi dengan perekat Polyvinil acetat dan Pati.
Selanjutnya untuk kayu laminasi dengan berat labur 140 g/m2 nilai keteguhan rekat tertinggi pada perlakuan basah dan kering adalah kayu laminasi dengan perekat Urea formaldehide (single dan double line spread untuk uji basah, dan single line spread untuk uji kering) dengan nilai keteguhan rekat masing-masing 21.14 g/cm2 dan 26 g/cm2, Pada saat setelah mendapat perlakuan basah, beberapa kayu laminasi kehilangan perekatnya (lepas), antara lain kayu laminasi dengan perekat Polyvinil acetat dan Pati.
Untuk berat labur 150 g/m2 nilai keteguhan rekat tertinggi pada perlakuan basah adalah kayu laminasi dengan perekat Urea formaldehide (single line spread) dengan nilai keteguhan rekat 20.29 g/cm2, sedangkan pada perlakuan kering kayu laminasi yang memiliki keteguhan rekat tertinggi adalah kayu laminasi dengan perekat Polystirene (double line spread) dengan nilai keteguhan rekat 23.14 g/cm2. Pada saat setelah mendapat perlakuan basah,hanya kayu laminasi dengan perekat pati yang lepas dari rekatannya.
Terakhir untuk kayu laminasi dengan berat labur 160 g/m2 nilai keteguhan rekat tertinggi pada perlakuan basah adalah kayu laminasi dengan perekat Pati (single line spread) dengan nilai keteguhan rekat 20.86 g/cm2, sedangkan pada perlakuan kering kayu laminasi yang memiliki keteguhan rekat tertinggi adalah kayu laminasi dengan perekat Urea formaldehide (double line spread) dengan nilai keteguhan rekat 23.43 g/cm2 . Pada saat setelah mendapat perlakuan basah, hanya kayu laminasi dengan perekat Polyvinil acetat (double line spread) yang lepas dari rekatannya.
Dari praktikum ini juga diperoleh informasi mengenai kebutuhan perekat yang ideal untuk perekatan kayu. Dari kebutuhan perekat 120 g/m2, 130 g/m2, 140 g/m2, 150 g/m2, dan 160 g/m2 yang di berikan pada kayu kebutuhan perekat 160 g/m2 lebih baik dibandingkan dengan kebutuhan perekat yang lain. Hal ini dilihat dari jumlah kayu laminasi yang lepas pada saat uji basah hanya satu kayu laminasi. Menurut Ruhendi et al,. (2007) berat labur yang terlalu sedikit akan mempengaruhi keteguhan rekat, sedangkan yang terlalu banyak akan menaikkan biaya produksi dan dapat mengurangi keteguhan rekat. Berat labur merupakan banyaknya perekat yang dilaburkan pada permukaan kayu yang biasa dinyatakan dalam g/m2.
Kayu laminasi yang diperoleh dari hasil perekatan, di ukur kadar airnya. Kadar air kayu laminasi ini berkisar antara 12.8%-18.6%. Menurut Marra (1992) dalam Ruhendi et al,. (2007), kadar air kayu merupakan salah satu faktor yang harus diperhatikan untuk menciptakan elemen kayu agar bisa direkat dan menghasilkan permukaan yang akan direkat satu sama lainnya (sangat berdekatan) hanya dengan tekanan kecil.
Dari hasil praktikum juga diperoleh informasi mengenai perekat yang tahan terhadap perlakuan basah (rendaman air). Perekat yang tahan terhadap perlakuan basah tersebut, tidak menyebabkan kayu laminasi lepas adalah perekat Urea formaldehide dan perekat Phenol formaldehide.







V. PENUTUP

5.1 KESIMPULAN
Dari hasil praktikum ini dapat disimpulkan bahwa pelaburan perekat dengan double line spread memberikan niali keteguhan rekat yang lebih baik dari pada single line spread. Selainitu berat labur perekat juga mempengaruhi nilai keteguhan rekat suatu kayu laminasi. Berat labur 160 g/cm dan 150 g/cm merupakan berat labur yang optimum. Selain itu, pada perlakuan uji basah dan kering juga mempengaruhi keteguhan rekat. Kayu laminasi yang telah mendapat perlakuan rendaman nilai keteguhan rekatnya lebih kecil dari pada perlakuan kering. Perekat Urea formaldehide dan Phenol formaldehide merupakan perekat yang baik pada perlakuan basah dan kering.

5.2 SARAN
Dapat dilakukan percobaan lain dengan perekat yang berbeda. Selain itu, dapat digunakan timbangan dengan ketelitian lebih tinggi dari yang digunakan sebelumnya agar hasil yang diperoleh lebih akurat.


















DAFTAR PUSTAKA

Blomquist, R. F. 1983. Fundamentals of Adhesion. In : Blomquist, R.F.,et al,. (Eds) ; Adhesive Bonding of Wood and Other Structural Materials. Forest Product Technology USDA Forest Service and The University of Winconsin. Chap.1.
Bodig, J. and B. A. Jayne. 1982. Mechanics of and Wood Composites. VNR Company INC. New York.
Hansen, H. J. 1948. Timber Engineers Handbook. John Wiley and Sons, INC. New York.
Mardikanto TR, Karlinasari L, Bahtiar ET. 2009. Sifat Mekanis Kayu. Departemen Hasil Hutan. Fakultas Kehutanan. IPB. Bogor
Pizzi, A. 1983. Wood Adhesive, Chemistry and Technology. Marcel Dekker, New York.
Ruhendi, S. and Y. S. Hadi. 1997. Perekat dan Perekatan. Jurusan Teknologi Hasil Hutan. Fakultas Kehutanan. IPB. Bogor.
Ruhendi S et al,. 2007. Analisis Perekatan Kayu. Jurusan Teknologi Hasil Hutan. Fakultas Kehutanan. IPB. Bogor.